SIMDARA (Sistem Informasi Data Program Berbasis Web) sebagai sarana dan media penyebarluasan informasi dan data Bidang Peternakan pada BPTPKH Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Banjarbaru

Sabtu, 08 Juni 2019

ENDEMISITAS DAN BEBERAPA FAKTOR KASUS RABIES PERIODE TAHUN 2013 – 2018


ABSTRAK
Oleh : drh. RINA PARLINA
NIP :19770904 201101 2 001
Jabatan : Medik Veteriner Muda
 
Kajian retrospektif kasus Rabies di Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan yang terdiri dari 5 kecamatan dan 20 kelurahan dengan menggunakan data historik yang didapat dari Laboratorium Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru dan data kasus gigitan HPR dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru. Data kajian berupa uji hasil Fluorescent Antibody Technique (FAT) dan histopathologi spesimen otak HPR, asal hewan, jenis kelamin, status vaksinasi, serta ada tidaknya riwayat menggigit. Hasil analisa data bahwa sejak 2013 sampai dengan sekarang telah terdiagnosa 9 kasus positif Rabies pada anjing ( 5 jantan dan 4 betina) dan 5 kasus positif Rabies pada kucing jantan. Jika dilihat dari wilayah kasus positif Rabies maka terjadi pada 4 Kecamatan, hanya 1 kecamatan saja yang belum pernah ada kasus positif Rabies dengan keadaan alam yang masih banyak hutan, perkebunan dan peternakan. Berdasarkan gambaran batas wilayah, kasus Rabies di Banjarbaru dapat terbagi dua bagian yaitu Barat dan Timur. Untuk wilayah Banjarbaru bagian Barat ada 5 kasus positif Rabies dengan wilayah penyebaran yang luas, sedangkan wilayah Banjarbaru bagian Timur terdapat 9 kasus positif Rabies dengan wilayah penyebaran yang relatif sempit dan padat pemukiman serta berdekatan dengan pusat kota Banjarbaru. Status vaksinasi di wilayah tersebut rutin dilakukan dua kali dalam setahun pada anjing berpemilik. Akan tetapi kasus positif Rabies selalu muncul tiap tahun di wilayah tersebut.
Kata kunci : endemesitas, kasus Rabies, FAT
PENDAHULUAN
Rabies merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus Rabies yang termasuk dalam famili rhabdovirus dan menyerang susunan syaraf pusat dan bersifat menular kepada manusia. Korbannya selalu berakhir dengan kematian jika tidak segera diberikan VAR (Vaksin Anti Rabies). Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan (Dharmojono, 2001)
Di dalam tubuh penderita virus Rabies akan menyebar ke dalam Sistem Saraf Pusat dan kelenjar ludah, kelenjar keringat, kelenjar adrenal, kulit, kornea mata, usus, lambung, rektum, ginjal, kandung kemih, pankreas, dan limpa. Dalam jumlah sedikit dapat ditemukan pula pada air susu, urine, dan kelenjar limfe. Virus Rabies masuk ke tubuh lewat luka bekas gigitan atau bisa tertular jika bersentuhan langsung dengan kornea mata.
Ada tiga bentuk Rabies pada hewan yaitu:
Bentuk ganas/ agresif, dengan mengalami taraf kejiwaan/ psikis, hewan terlihat jadi pendiam, gelisah dan mencari tempat gelap; taraf rangsangan/ eksitasi (suka menggigit dan merusak benda sekitanya); taraf kelumpuhan/ paralisa kaki belakang, rahang bawah, sehingga tidak bisa menutup mulut dan menjulurkan lidah dengan disertai hipersalivasi.
Bentuk jinak dikenal juga dump Rabies. Bentuk ini tidak memperlihatkan keganasan, baru pada stadium lanjut akan terjadi kelumpuhan pada kedua kaki belakang dan rahang bawah.
Bentuk atipik atau tanpa bentuk, hewan biasanya hanya menunjukkan gejala diam dan bersembunyi, pada saat akan ditangkap baru menggigit.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 4026/ Kpts/ OT.140/ 4/ 2013 tentang 25 jenis Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS), Rabies merupakan salah satu PHMS prioritas.
Untuk mendukung pelaksanaan program pemberantasan penyakit Rabies, maka kami perlu menyampaikan tentang kejadian kasus Rabies di kota Banjarbaru mulai tahun 2013 sampai dengan 2018 mengingat pada tahun 2018 dalam beberapa bulan terakhir jumlah kasus positif Rabies lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya (7 kasus positif dalam waktu 5 bulan terakhir di 6 kelurahan), padahal program vaksinasi Rabies terus menerus dilaksanakan.
Tulisan ini kami harapkan dapat memberikan data informasi tentang model penyebaran kasus Rabies di Kota Banjarbaru untuk dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam menentukan langkah pemberantasan Rabies selanjutnya.
TUJUAN
Untuk mengetahui dan mempelajari endemisitas Rabies di Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan berdasarkan uji laboratorium B Vet Banjarbaru dan data dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru.
Mengetahui faktor-faktor penyebab penyebaran virus Rabies di Kota Banjarbaru.
Sebagai dasar untuk langkah-langkah berikutnya dalam pemberantasan Rabies di Kota Banjarbaru.
Sebagai bahan untuk menjalin kerjasama dengan Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas di setiap kecamatan dalam upaya penanggulangan kasus positif Rabies maupun kasus gigitan HPR terduga Rabies.
MATERI DAN METODE
Mengumpulkan data hasil uji laboratorium dari B Vet Banjarbaru dengan uji FAT dan histopathologi terhadap otak HPR. Data yang terkumpul mulai periode tahun 2013 sampai dengan 2018, hasil positif dan negatif berdasarkan banyaknya kasus gigitan HPR dan non gigitan yang terjadi di Kota Banjarbaru.
Periode tahun 2013 sampai dengan 2018 diambil karena pada awal tahun 2013 tersebut adalah awal tahun kejadian kembali rangkaian kasus positif Rabies hingga saat ini, setelah 7 tahun tidak pernah ada kejadian kasus Rabies (terakhir tahun 2006).
Deskripsi data yang terkumpul berdasarkan jenis kelamin, status vaksinasi, asal daerah dan riwayat kasus gigitan.
Melakukan identifikasi kasus dengan melihat keadaan geografis wilayah, dan pola hidup penduduk sekitar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rabies terdapat dalam bentuk epizootik kota (anjing dan kucing) dan silvatik (liar). Sebagian besar di negara berkembang, di mana rabies kucing masih endemik, kasus gigitan positif pada manusia terjadi karena gigitan anjing (GeO,etc, 1995).
Kondisi geografis Kota Banjarbaru memiliki luas 371,3 km², dengan jumlah penduduk 247,137 orang ( data sensus 2015). Kepadatan 613 orang/ km² terdiri dari 5 kecamatan dan 20 kelurahan.
Kecamatan Liang Anggang :Kel. Landasan Ulin Barat, Landasan Ulin Selatan, Landasan Ulin Tengah, Landasan Ulin Utara; Kecamatan Landasan Ulin : Kel Landasan Ulin Timur, Guntung Manggis, Guntung Payung, Syamsudin Noor, Kecamatan Banjarbaru Utara : Kel. Loktabat Utara, Mentaos, Komet, Sungai Ulin,; Kecamatan Banjarbaru Selatan : Kel. Loktabat Selatan, Kemuning, Guntung Paikat, Sungai Besar; Kecamatan Cempaka : Kel. Cempaka, Sungai Tiung, Bangkal, Palam.
Kebanyakan lokasi kasus gigitan serangan HPR positif merupakan daerah pusat kota dengan mata pencaharian penduduknya pekerja kantoran
Mulai tahun 2013 Kota Banjarbaru semakin menata pembangunan, dari mulai perumahan sampai lingkungan perkantoran. Hal ini semakin menggeser wilayah Banjarbaru yang semula lebih banyak hutan dan perkebunan bukan rawa menjadi daerah pemukiman.
Habitat asli hewan-hewan liar yang beresiko menjadi HPR pun mulai tergeser dan tidak dapat terelakkan mereka pun sering berinteraksi dengan daerah pemukiman. Kemungkinan hal inilah yang menjadi pemicu munculnya kembali kasus gigitan HPR bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya pembangunan kota.
Sejak tahun 2013 sampai dengan 2018 terdapat 260 kasus gigitan HPR, dan 19 kasus selain gigitan (tabrak lari, pasien klinik, euthanasi, dan hewan terpapar Rabies), yang diperiksa dengan uji FAT di Bvet Banjarbaru, sehingga ada 279 kasus yang menjadi bahan survailanse untuk Rabies. Dari 279 kasus tersebut 189 kasus dapat diperiksa dengan tuntas melalui observasi 14 hari atau pengiriman sampel otak ke Bvet Banjarbaru. Dan didapatkan 14 sampel yang positif Rabies. Hal tersebut dikarenakan tidak semua kasus gigitan HPR hewannya bisa ditangkap atau diketemukan. Ditambah dengan kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahayanya gigitan HPR terhadap mereka. Berikut data positif Rabies dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data Rabies Kota Banjarbaru
Tgl Lokasi (Kelurahan) Positif
26 Jan ‘13 Landasan Ulin Utara 1 ekor kucing jantan berpemilik
8 Peb ‘14   LU Timur   1 ekor kucing jantan liar (gigitan)  
11 Ags’15     27 Okt ‘15 Sungai Ulin     Mentaos 1 ekor anjing jantan berpemilik (gigitan)   1 ekor kucing jantan liar (gigitan)
26 Jan ‘16   Komet   1 ekor kucing jantan liar (gigitan)
18 Jan ‘17           9 Okt ‘17 Mentaos           Komet 1 ekor anjing jantan berpemilik (gigitan)       1 ekor anjing jantan berpemilik (gigitan)
19 Mar’’18     25 Mar’’18       6 Apr’18       15 Apr’18         24 Apr ‘18       18 Mei ‘18       21 Juni ‘18 Sungai Ulin       Komet         Guntung Manggis     Guntung Manggis       Mentaos       Syamsudin Noor       Sungai Besar 1 ekor kucing jantan liar (gigitan)   1 ekor anjing betina berpemilik (Non gigitan)   Anjing jantan berpemilik (Non gigitan)   1 ekor anjing betina berpemilik (gigitan)   1 ekor anjing betina liar (gigitan)   1 ekor anjing betina liar (gigitan)   1 ekor anjing jantan berpemilik (Non gigitan)  
Tabel 2. Data Kasus Gigitan (KG) dan Kasus Bukan Gigitan (KBG) dengan sampel Otak yang dikirim ke Laboratorium BVet di Kota Banjarbaru
Tahun KG KBG
2013 42 0
2014 41 1
2015 22 2
2016 51 5
2017 57 4
2018 47 7
TOTAL 260 19
Jika dipersentasikan tentang kejadian kasus Rabies di Banjarbaru periode 2013 sampai dengan 2018, maka di dapatkan data dari 189 sampel kasus Rabies yang dapat diperiksa terdapat:
Anjing berpemilik dan liar 14,29% positif FAT (9 dari 63 kasus); anjing berpemilik 11,48% positif FAT (7 dari 61 kasus); anjing liar 100% positif FAT(2 dari 2);
Kera berpemilik dan liar tidak ada yang positif (27 sampel); kera berpemilik tidak ada yang positif (24 kasus), kera liar tidak ada yang positif (3 kasus);
Kucing berpemilik dan liar 5,15% positif FAT (5 dari 97 kasus); kucing berpemilik 1,67% positif FAT (1 dari 60 kasus); kucing liar 10,81% positif FAT (4 dari 37 kasus).
Hewan lain yang terduga Rabies berdasarkan gejala klinis bisa diperiksa sampai tuntas hanya hewan yang berpemilik yaitu 1 ekor sapi dan 1 ekor kambing, semuanya menunjukkan FAT negatif.
Total dari 189 sampel HPR, 14 ekor positif FAT (7,41%).
Tabel 3. Grafik Kasus GHPR dan Positif Rabies di Kota Banjarbaru Periode 2013 – 2018
Berdasarkan grafik di atas terjadi outbreak kasus Rabies tahun 2018 pada anjing meskipun kasus rabies ini juga ditemukan pada kucing hampir setiap tahun sejak 2013 (kecuali 2017). Hal ini dikarenakan masa inkubasi virus Rabies di anjing lebih cepat daripada masa inkubasi pada kucing, sehingga penularan di populasi anjing berlangsung lebih cepat daripada di populasi kucing .
Tingkat kejadian resiko penularan Rabies lebih tinggi pada hewan jantan daripada hewan betina karena pada hewan jantan banyak berkeliaran di luar rumah dan memungkinkan terjadinya perkelahian antar pejantan terutama pada musim kawin.
Meskipun kegiatan vaksinasi massal terus dilakukan, akan tetapi kasus Rabies terus terjadi tiap tahun. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan vaksinasi masih banyak hewan liar yang tidak bisa ditangkap untuk divaksin serta adanya kebiasaan masyarakat meliarkan hewan peliharaannya.
KESIMPULAN
  1. Kasus Rabies di Kota Banjarbaru yang terjadi pada tahun 2013 sampai 2018 selalu ada tiap tahun meskipun vaksinasi Rabies terus dilakukan karena faktor kebiasaan masyarakat yang masih melepas liarkan hewan peliharaannya.
  2. Perkembangan Kota Banjarbaru semakin mempersempit habitat HPR liar sehingga memperbesar interaksi dengan manusia.
  3. Status kepemilikan hewan mempengaruhi resiko HPR menderita rabies. pada anjing berpemilik yg diperiksa otak, 11,48% positif rabies, sedang pada anjing liar yang dipriksa otak karena menggigit, angkanya mencapai 100%. Pada kucing berpemilik yang diperiksa otak hanya 1,67% yang positif FAT.sedangkan pada kucing liar mencapai 10,81 %.
  4. Faktor jenis kelamin pada spesies tertentu juga memiliki pengaruh. Pada spesies kucing, 5 ekor kucing yg diperiksa positif, semuanya berjenis kelamin jantan. Sedangkan pada anjing dari 9 yang positif, 5 adalah jantan dan 4 adalah betina. Ini disebabkan karena behavior kucing sebagai hewan soliter dan teritorial, sehingga perkelahian antar kucing jantan menjadi penyebab penularan rabies di kalangan kucing. Sedangkan pada anjing yang merupakan spesies hewan sosial, potensi rabies menular pada hewan jantan dan betina cenderung sama.
SARAN
  1. Meningkatkan koordinasi antar instansi yang sudah berjalan dengan Dinas Kesehatan dan Dinas yang membidangi peternakan.
  2. Melakukan survailanse kasus Rabies pada spesies lain, seperti pada kucing pada wilayah terjadi kasus endemik atau outbreak Rabies.
  3. Dalam upaya pemberantasan kasus Rabies mengupayakan pengendalian populasi anjing dan kucing melalui cara sterilisasi baik berpemilik maupun tidak berpemilik.
 
DAFTAR PUSTAKA
  • 1991. Merck’s Veterinary Manual. 7th Ed. Merck’s Co. & Inc.
  • 2012. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Rabies, Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
  • Dharmojono, 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Millenium -Publisher Jakarta. Hlm
  • F. Brooks, MD, etc. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hlm
Share:

UROLITHIASIS PADA KUCING


ABSTRAK

Oleh : drh. RINA PARLINA
NIP :19770904 201101 2 001
Jabatan : Medik Veteriner Muda

Kucing merupakan salah satu hewan kesayangan manusia yang harus dijaga kesehatannya. Salah satu penyakit yang dialami oleh kucing adalah Urolithiasis yang menyerang saluran perkemihan. Terbentuknya urolith sering diakibatkan oleh makanan yang mengandung protein tinggi, protein ini dikeluarkan oleh urine dalam bentuk urea, kemudian pada infeksi bakteri Staphylococcus aureus atau proteus akan mengalami hidrolisis menjadi dua bentuk molekul ammonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Pemeriksaan laboratorium sederhana seperti pemeriksaan PH urine dapat mendukung diagnosa pasti. Metabolisme protein hewani dari pakan akan menyebabkan PH lebih asam, sedangkan jika dari sumber protein nabati akan menyebabkan PH urine lebih basa atau alkalis. Urine juga cenderung lebih basa segera setelah makan.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kucing merupakan hewan kesayangan manusia yang harus dijaga kesehatannya. Salah satu penyakit yang dialami oleh kucing adalah Urolithiasis yang menyerang saluran perkemihan. Pada umumnya terjadi di dalam vesica atau urethra, meskipun kadang terjadi pada renal atau ureter. Penyakit ini dapat menimbulkan kesehatan yang serius bahkan bisa menimbulkan kematian.
Terbentuknya urolith pada hewan kesayangan disebabkan oleh :
  • Komposisi pakan dan pengaruhnya pada PH urine. Hal ini biasanya terjadi pada penggunaan pakan berprotein tinggi terus menerus dan mulai menimbulkan gejala klinis menginjak bulan kelima,
  • Infeksi saluran perkemihan,
  • Ras anjing dan kucing tertentu yang secara genetik mudah mengalami urolithiasis.
Sangat penting mengetahui penyebab – penyebab terjadinya urolihiasis serta gejala klinis yang ditimbulkannya sehingga dapat melakukan pengobatan dan pencegahan sedini mungkin. Penderita urolithiasis khususnya yang bersifat obstruktif, harus segera ditangani untuk mencegah komplikasi pada penderita, sehingga memperparah penyakit.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa definisi Urolithiasis ?
2.    Bagaimana proses terjadinya Urolithiasis ?
3.    Bagaimana langkah penanganan dan terapi Urolithiasis ?

C.    Pemecahan Masalah
1.    Definisi Urolithiasis
2.    Proses terjadinya Urolithiasis
3.    Langkah penanganan dan terapi Urolithiasis

D.    Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dibuatnya karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1.    Sebagai salah satu pelengkap DUPAK Medik Veteriner Muda untuk ke jenjang berikutnya.
2.    Memberikan pengetahuan kepada pencinta hewan kesayangan khususnya kucing jika menemui gejala klinis Urolithiasis pada kucing peliharaan mereka
3.    Memberikan pengetahuan kepada pecinta hewan kesayangan khususnya kucing dalam perawatan dan pencegahan penyakit Urolithiasis.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Urolithiasis
Urolithiasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu ouron yang berarti urine dan lithos yang berarti batu. Jadi Urolihiasis merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan adanya batu pada saluran perkemihan.

B.    Proses Terjadinya Urolithiasis
Beberapa teori disampaikan tentang proses terbentuknya urolith, yaitu :
•    Teori Supersaturasi yang mengakibatkan pembentukan kristal.
•    Teori Presipitasi – Kristalisasi.
    Pengaruh inhibitor kristalisasi serta inhibitor agregasi dan pertumbuhan kristal.
•    Teori Matriks – Nukleasi.
Terjadi karena efek promotor pada agregasi dan pertumbuhan kristal
•    Teori Inhibisi – Kristalisasi.
Terjadi karena matriks non kristal
•    Kombinasi dari kesemua teori
Terdiri dari dua tahapan yaitu inisiasi dan pertumbuhan. Faktor yang memulainya berbeda beda tiap individu. Fase nukleasi atau inisiasi ini tergantung pada kejenuhan urine dengan kristaloid kalkugenik. Tingkat kejenuhan urine dipengaruhi oleh besarnya ekskresi kristaloid, PH urine, inhibitor atau promotor kristalisasi dari renal ke dalam urine. Kadang – kadang matriks protein non kristal juga berperan dalam nukleasi.
Nukleasi terdiri dari homogen dan heterogen. Nukleasi homogen terjadi secara spontan dalam kondisi urine sangat jenuh tanpa adanya bahan asing. Sedangkan nukleasi heterogen dikatalisis dengan bahan asing. Urine mengandung banyak kotoran sehingga mendorong terjadinya nukleasi heterogen mengakibatkan terjadinya kristal.
Urine mengandung ion – ion dan protein – protein yang bergabung dengan kalsium dan asam oksalat sehingga bisa larut.
Urolithiasis didahului proses infeksi saluran kemih oleh bakteri – bakteri yang memiliki enzim urease yang juga mampu membentuk kalkuli sekitar 4,5 minggu setelah terjadinya infeksi pada saluran kemih (Ettinger dan Feldman, 2005).

Terbentuknya urolith sering diakibatkan oleh makanan yang mengandung protein tinggi, protein ini dikeluarkan oleh urine dalam bentuk urea, kemudian pada infeksi bakteri Staphylococcus aureus atau proteus akan mengalami hidrolisis menjadi dua bentuk molekul ammonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Selanjutnya ammonia akan merusak urethelium dan jumlahnya meningkat cepat membentuk kristal magnesium ammonium phosphat. Kristal ini membentuk urolith struvit dengan kandungan 90 – 95% kristaloid sedang, 5 – 10% adalah urine.

Sistem perkemihan berfungsi mengekskresikan bermacam –macam produk buangan tubuh. Sistem ini juga penting sebagai faktor untuk mempertahankan homeokinesis. Meningkatnya konsentrasi suatu zat dalam darah cenderung akan meningkatkan ekskresi zat tersebut (Ganong, 1987).

Pakan harus mengandung protein, fosfor dan natrium yang rendah untuk kucing yang menderita gangguan ginjal dan hati. Pakan harus mengandung magnesium yang rendah serta tetap mempertahankan urine dalam keadaan asam pada kucing yang mengalami struvit urolithiasis (Perdawinata, 2005). Pakan harus mengandung kalsium , oksalat dan natrium yang rendah untuk kucing yang mengalami urolithiasis oksalat (Lakcharoensuk et al., 2002; Perdawinata, 2005).
Retensi urine dapat memicu terjadinya urolith. Kandungan urolith sangat tergantung pada suasana asam basa dalam sistem perkemihan (Holt, 1983; Boudaroua, 2000; Vedrenne et al., 2003).

Proses – proses ekskresi dan reabsorbsi sistem perkemihan akan mempengaruhi PH urine. Gangguan sistem perkemihan berdasarkan analisis urine dapat dilihat dari PH urine, kandungan albumin dan bilirubin. Indikator pertama gangguan pada glomerulus dengan adanya albumin pada urine sebelum timbulnya albuminimea. Di lain pihak juga bisa diindikasikan selain adanya penyakit sistem perkemihan atau yang berkaitan dengan sistem lain (Thuduim et al., 2001; Stockhom dan Scot, 2002).

Pakan kucing siap saji maupun pindang tidak menimbulkan abnormalitas pada sistem saluran perkemihan ditinjau dari PH, adanya albumin, dan bilirubin dalam urine. Pemberian cat food menimbulkan PH urine alkalis, sedangkan pemberian pindang menimbulkan suasana urine asam, namun dalam kisaran normal. Baik pada kucing yang diberi pakan siap saji dan pindang keduanya tidak ditemukan bilirubin dalam urine (Kusumawati dan Sardjana, 2004).
Pemberian pakan kering pada kucing umumnya mempunyai kandungan serat yang tinggi dan sedikit yang dapat dicerna, dimana akan terjadi peningkatan asupan magnesium, sehingga kuantitas feses yang besar dan vo;ume urine menurun. Menurunnya volume urine dapat menyebabkan konsentrasi magnesium dan kalkuli yang lain pada urine menjadi tinggi (Burger et al., 1980). Sehingga terjadilah obstruksi urethra. Oleh karena itu jika menggunakan pakan kering pada kucing sebisa mungkin diimbangi dengan peningkatan jumlah air minum.
Bila kucing mengalami dehidrasi, muntah, penurunan berat badan drastis disertai obstruksi urethra maka diperlukan pemeriksaan kimia darah dan pemberian cairan elektrolith.

C.    Langkah Penanganan dan Terapi Urolithiasis
Pemeriksaan laboratorium sederhana seperti pemeriksaan PH urine dapat mendukung diagnosa pasti. Metabolisme protein hewani dari pakan akan menyebabkan PH lebih asam, sedangkan jika dari sumber protein nabati akan menyebabkan PH urine lebih basa atau alkalis. Urine juga cenderung lebih basa segera setelah makan.

Sebagian besar kasus memerlukan USG, radiografi abdominal dan radiografi urethra menggunakan media kontras.
Pemeriksaan kalsium darah diperlukan pada penderita kalsium oksalat atau kalsium fosfat. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan hormon paratiroid, untuk mengevaluasi tingginya konsentrasi kalsium di dalam darah.
Terapi yang dilakukan bisa dengan memberikan pengasam urine atau menggunakan bahan obat yang bisa membuat urine menjadi basa sehingga dapat mengeluarkan bahan tertentu. Pemberian antibiotika dilakukan jika disertai infeksi pada saluran kemih. Tindakan bedah dilakukan jika terjadi obstruksi pada saluran perkemihan. Pemberian pakan yang bersifat kalkulolitik juga sangat bagus karena bisa menghancurkan urolith struvit baik di vesica urinaria maupun di ginjal karena dapat mengasamkan urine, mengencerkan urine sehingga mengurangi saturasi magnesium, ammonium dan fosfor. Pemberian pakan jenis ini adalah langkah utama untuk mengeliminasi urolith atau sebagai langkah sekunder setelah urolith dikeluarkan menggunakan metode lain untuk memastikan seluruh urolith atau pecahan-pecahan urolith yang ada terbuang semua.

Pengobatan urolithiasis yang paling sederhana adalah melalui makanan yang rendah magnesiumnya serta tetap menjaga suasana PH urine asam sekitar 6. Jika ada urolith struvit pada kucing maka diutamakan pakan yang mengandung NaCl untuk meningkatkan volumea urine dan methionine sebagai zat pengasam urine. Tetapi pengobatan ini dilakukan hanya 2 sampai 4 minggu saja. Selama pengnobatan PH urine diukur 4 – 8 jam setelah pemberian obat-obatan.

Pemberian batugin elixir mampu mengobati urolith cystine. Penelitian Wen dan Karen (2012) bahwa bahan herbal crystal clair mampu menghancurkan urolith kalsium oksalat, struvit dan cystine.Obat penghancur urolith yang lain adalah asam asetohidroksamid sebagai inhibitor urease yang bisa membuat suasana lebih asam pada urine dan melarutkan struvit pada urine. Pemberian allopurinol untuk terapi urolith urat sebagai penghambat xantine oksidase (Sardjana, 2006). Selain itu meningkatkan asupan air minum pada kucing dan pakan basah sangat bagus dalam meningkatkan volume urine.
Lithothripsy adalah upaya menghancurkan urolith yang berukuran relatif besar menjadi sangat kecil sehingga diharapkan dapat melalui saluran kemih bersama urine keluar saat urinasi. Menggunakan berbagai macam peralatan, salah satunya adalah laser.

Urohydropropulsion merupakan tindakan non bedah dengan mendorong urolith keluar melalui orificium urethra atau kembali ke dalam vesika untuk kemudian diambil dengan bedah sistotomi. Pada kucing dengan menggunakan tomcat kateter steril dimasukkan kedalam urethra. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk mencegah infeksi vesika saat tindakan kateterisasi. Pemasangan kateter dilakukan selama 2 sampai 7 hari, diikuti pemberian bethanechol per oral selama 7 sampai dengan 10 hari. Pemberian bethanechol ini untuk menstimulasi konstruksi otot destrusor dan menstimulasi kontraksi spincter urethra.

Tindakan terakhir adalah bedah sesuai prosedur bedah pada umumnya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
•    Sangat penting mengetahui penyebab – penyebab terjadinya urolihiasis serta gejala klinis yang ditimbulkannya sehingga dapat melakukan pengobatan dan pencegahan sedini mungkin.
•    Pakan harus mengandung protein, fosfor dan natrium yang rendah untuk kucing yang menderita gangguan ginjal dan hati.
•    Pakan harus mengandung magnesium yang rendah serta tetap mempertahankan urine dalam keadaan asam pada kucing yang mengalami struvit urolithiasis.
•    Pakan harus mengandung kalsium, oksalat dan natrium yang rendah untuk kucing yang mengalami urolithiasis oksalat.

B.    Saran
•    Mengatur keseimbangan pakan kucing dengan asupan air yang masuk ke dalam tubuhnya.
•    Lebih memperhatikan gerak gerik urinasi kucing setiap harinya agar penyakit urolithiasis dapat dideteksi secara dini.
•    Lakukan minimal sekali dalam setahun pemberian pakan yang mengandung zat-zat yang dapat mencegah terjadinya urolithiasis.

DAFTAR PUSTAKA
Boudaroua P, 2000, Les Urolithiasis canines en Pratique L’Action Veterinale, 1503  934): 1 – 7.

Burger IH, Anderson RS, & Holme DW, 1980. Nutritional Factors Affecting Water Balance in The Dog. In : Nutrition of the Dog and Cat (Anderson, RS, ed.). pp. 145 – 156. Pergamon Press, Oxford, UK.

Ettinger SJ and Feldman EC, 2005, Textbook of Veterrinary Internal Medicine. Elsevier Saunders, USA.

Ganong WF, 1987, Review of Medical Physiology, Appleton & Lange.

Holt P, 1983, Urinary Incontinencia in The Dogs. In Practice 5 (5): 167 – 173.

Kusumawati D, Sardjana IKW, 2006. Perbandingan Pemberian Cat Food dan Pindang terhadap PH Urine, Albuminuria dan Bilirubinuria Kucing. Media Kedokteran Hewan. 22 (2). 131 – 134.

Lekcharoensuk CL, Osborne CA, and Lulich JP, 2002. Evaluation of trends in frequency of urethrotomy for treatment of ureththral obstruction in cats. JAVMA, 221: 502 – 505.

Perdanawinata AE, 2005. Manajemen Pakan Pada Kucing. Seminar Ilmiah Kasus Medis dan Non Medis di Meja Praktek Dokter Hewan, Yogyakarta, Indonesia.

Sardjana IKW, 2006. Keberhasilan Urethrotomy dan cystotomy untuk terapi urolithiasis pada anjing dan kucing. Media Kedokteran Hewan, 22 (1), 62 – 67.

Sardjana IKW, Triakoso N, 2014. Urolithiasis Pada Anjing dan Kucing. Airlangga University Press. 3 – 46.

Stockhom SL and MA, Scot, 2002. Fundamental of Veterinary Clinical Pathology, Iowa State Press.

Thudium D, D. Adam, T. Sellers, S. Rahm, D. Ennulat, and L. Schwartz, 2001. Urinary albumin assensitive marker for nephropathy in age male rat, America Society for Vet, Clinic, Pathol, Annual meeting, 30 (3) : 152.

Vedrenne N, JP. Cotard, dan B Paragon, 2003. Feline Urolithiasis : current epidemiology, Point Veterinaire. 34 (232) : 44 – 48.
Share:

Jumat, 07 Juni 2019

Penyakit Pada Kucing


Seekor kucing rata-rata sekali melahirkan akan mengeluarkan anak minimal 3 ekor dengan masa bunting 55 sampai 65 hari. Bayangkan dalam setahun seekor kucing akan bereproduksi menghasilkan puluhan anak. Mungkin hanya 10% anak kucing tersebut akan mendapatkan pemilik yang bertanggungjawab. Sisanya akan berkeliaran di jalan, tertabrak mobil, mati kelaparan, ditendang, dilempari batu , ditembak, diracun, disiram air panas dan berbagai penyiksaan lainnya. Tidakkah kita berpikir untuk menekan perkembangbiakannya ? Pikiran yang langsung muncul pada kita adalah pasti akan memberikan mereka obat KB seperti halnya yang biasa dilakukan pada manusia. Padahal tanpa kita sadari kita telah membunuh mereka perlahan dengan penyiksaan rasa sakit yang tidak bisa mereka ungkapkan. Kucing adalah makhluk yang pandai menyembunyikan rasa sakitnya. Pada keadaan parah, barulah mereka menunjukkan kehilangan nafsu makan dan akhirnya mati. Tahu kah kita dengan obat KB yang rutin kita berikan ke mereka dengan maksud menekan perkembangbiakannya telah mengakibatkan PYOMETRA. Pyometra merupakan penyakit seperti kanker rahim, rahim mereka akan membesar tapi isinya bukan janin melainkan nanah bercampur darah kotor. Semakin lama semakin mengental dan membesarkan perut mereka. Kucing seperti hamil tapi sebenarnya mereka sedang sakit parah, dan kebanyakan berujung kematian jika terlambat ditangani. Di dunia kedokteran hewan sudah lama ditetapkan bahwa pemberian obat KB pada hewan kesayangan anjing dan kucing dianggap mallpraktek.

Maka pilihan yang tepat untuk menekan populasi kucing adalah dengan steril yaitu dengan cara kebiri atau kastrasi untuk kucing jantan dan Ovariohisterectomy serta Histerectomy untuk kucing betina.
Lalu muncul pendapat lagi, kalau steril itu dosa. Sebelum kita berbicara hukum Islam, tanyakanlah pada diri kita masing-masing, lebih berdosa mana antara steril dan dengan sengaja menelantarkan anak-anak kucing di jalanan atau menyiksa kucing-kucing karena kesal mereka mencuri makanan kita tanpa kita tahu mereka hanya ingin makan untuk bisa bertahan hidup karena mereka hidup dengan insting bukan dengan akal seperti manusia

Karena manusia adalah makhluk yang sempurna dan mempunyai akal, maka kita perlu memahami larangan steril dalam Islam. Yang jelas dilarang dalam Islam adalah sterilisasi pada manusia, adapun pada binatang termasuk kucing maka hukumnya jadi berbeda. Kalangan Syafii membedakan antara binatang yang dimakan dan binatang yang tidak dimakan. Pada binatang yang dimakan, hukum steril boleh, selama tidak mendatangkan kebinasaan. Sementara untuk binatang yang tidak dimakan, maka hukumnya dilarang, akan tetapi bisa dibolehkan apabila mendatangkan manfaat baik bagi manusia dan binatang itu sendiri serta dilakukan dengan cara yang tidak menyakiti dan tidak merusak populasinya.

Untuk itu sterilisasi pada hewan hanya boleh dilakukan oleh dokter hewan karena merekalah yang berkompeten dengan ilmunya melakukan bedah steril tanpa harus menimbulkan rasa sakit bagi hewan dan telah mengikuti standar operasional prosedur yang berlaku.
   
Sterilisasi akan memberikan dampak langsung pada kesejahteraan hidup kucing dan secara tidak langsung kita juga dapat menekan penyebaran penyakit zoonosis dari hewan ke manusia. Dengan mengontrol populasi kucing , kita bisa memberikan perhatian yang terbaik untuk kucing-kucing tersebut. Jaga kebersihan diri dan kucingya yaaa…jaga kesehatannya dan sejahterakan mereka karena berani memelihara mereka merupakan komitmen seumur hidup mereka dan tanggungjawab kita terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan. 
Share:

Logo Inovasi

Recent Post