SIMDARA (Sistem Informasi Data Program Berbasis Web) sebagai sarana dan media penyebarluasan informasi dan data Bidang Peternakan pada BPTPKH Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan Kota Banjarbaru

Sabtu, 08 Juni 2019

ENDEMISITAS DAN BEBERAPA FAKTOR KASUS RABIES PERIODE TAHUN 2013 – 2018


ABSTRAK
Oleh : drh. RINA PARLINA
NIP :19770904 201101 2 001
Jabatan : Medik Veteriner Muda
 
Kajian retrospektif kasus Rabies di Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan yang terdiri dari 5 kecamatan dan 20 kelurahan dengan menggunakan data historik yang didapat dari Laboratorium Epidemiologi Balai Veteriner Banjarbaru dan data kasus gigitan HPR dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru. Data kajian berupa uji hasil Fluorescent Antibody Technique (FAT) dan histopathologi spesimen otak HPR, asal hewan, jenis kelamin, status vaksinasi, serta ada tidaknya riwayat menggigit. Hasil analisa data bahwa sejak 2013 sampai dengan sekarang telah terdiagnosa 9 kasus positif Rabies pada anjing ( 5 jantan dan 4 betina) dan 5 kasus positif Rabies pada kucing jantan. Jika dilihat dari wilayah kasus positif Rabies maka terjadi pada 4 Kecamatan, hanya 1 kecamatan saja yang belum pernah ada kasus positif Rabies dengan keadaan alam yang masih banyak hutan, perkebunan dan peternakan. Berdasarkan gambaran batas wilayah, kasus Rabies di Banjarbaru dapat terbagi dua bagian yaitu Barat dan Timur. Untuk wilayah Banjarbaru bagian Barat ada 5 kasus positif Rabies dengan wilayah penyebaran yang luas, sedangkan wilayah Banjarbaru bagian Timur terdapat 9 kasus positif Rabies dengan wilayah penyebaran yang relatif sempit dan padat pemukiman serta berdekatan dengan pusat kota Banjarbaru. Status vaksinasi di wilayah tersebut rutin dilakukan dua kali dalam setahun pada anjing berpemilik. Akan tetapi kasus positif Rabies selalu muncul tiap tahun di wilayah tersebut.
Kata kunci : endemesitas, kasus Rabies, FAT
PENDAHULUAN
Rabies merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus Rabies yang termasuk dalam famili rhabdovirus dan menyerang susunan syaraf pusat dan bersifat menular kepada manusia. Korbannya selalu berakhir dengan kematian jika tidak segera diberikan VAR (Vaksin Anti Rabies). Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan (Dharmojono, 2001)
Di dalam tubuh penderita virus Rabies akan menyebar ke dalam Sistem Saraf Pusat dan kelenjar ludah, kelenjar keringat, kelenjar adrenal, kulit, kornea mata, usus, lambung, rektum, ginjal, kandung kemih, pankreas, dan limpa. Dalam jumlah sedikit dapat ditemukan pula pada air susu, urine, dan kelenjar limfe. Virus Rabies masuk ke tubuh lewat luka bekas gigitan atau bisa tertular jika bersentuhan langsung dengan kornea mata.
Ada tiga bentuk Rabies pada hewan yaitu:
Bentuk ganas/ agresif, dengan mengalami taraf kejiwaan/ psikis, hewan terlihat jadi pendiam, gelisah dan mencari tempat gelap; taraf rangsangan/ eksitasi (suka menggigit dan merusak benda sekitanya); taraf kelumpuhan/ paralisa kaki belakang, rahang bawah, sehingga tidak bisa menutup mulut dan menjulurkan lidah dengan disertai hipersalivasi.
Bentuk jinak dikenal juga dump Rabies. Bentuk ini tidak memperlihatkan keganasan, baru pada stadium lanjut akan terjadi kelumpuhan pada kedua kaki belakang dan rahang bawah.
Bentuk atipik atau tanpa bentuk, hewan biasanya hanya menunjukkan gejala diam dan bersembunyi, pada saat akan ditangkap baru menggigit.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 4026/ Kpts/ OT.140/ 4/ 2013 tentang 25 jenis Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS), Rabies merupakan salah satu PHMS prioritas.
Untuk mendukung pelaksanaan program pemberantasan penyakit Rabies, maka kami perlu menyampaikan tentang kejadian kasus Rabies di kota Banjarbaru mulai tahun 2013 sampai dengan 2018 mengingat pada tahun 2018 dalam beberapa bulan terakhir jumlah kasus positif Rabies lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya (7 kasus positif dalam waktu 5 bulan terakhir di 6 kelurahan), padahal program vaksinasi Rabies terus menerus dilaksanakan.
Tulisan ini kami harapkan dapat memberikan data informasi tentang model penyebaran kasus Rabies di Kota Banjarbaru untuk dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam menentukan langkah pemberantasan Rabies selanjutnya.
TUJUAN
Untuk mengetahui dan mempelajari endemisitas Rabies di Kota Banjarbaru Propinsi Kalimantan Selatan berdasarkan uji laboratorium B Vet Banjarbaru dan data dari Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru.
Mengetahui faktor-faktor penyebab penyebaran virus Rabies di Kota Banjarbaru.
Sebagai dasar untuk langkah-langkah berikutnya dalam pemberantasan Rabies di Kota Banjarbaru.
Sebagai bahan untuk menjalin kerjasama dengan Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Puskesmas di setiap kecamatan dalam upaya penanggulangan kasus positif Rabies maupun kasus gigitan HPR terduga Rabies.
MATERI DAN METODE
Mengumpulkan data hasil uji laboratorium dari B Vet Banjarbaru dengan uji FAT dan histopathologi terhadap otak HPR. Data yang terkumpul mulai periode tahun 2013 sampai dengan 2018, hasil positif dan negatif berdasarkan banyaknya kasus gigitan HPR dan non gigitan yang terjadi di Kota Banjarbaru.
Periode tahun 2013 sampai dengan 2018 diambil karena pada awal tahun 2013 tersebut adalah awal tahun kejadian kembali rangkaian kasus positif Rabies hingga saat ini, setelah 7 tahun tidak pernah ada kejadian kasus Rabies (terakhir tahun 2006).
Deskripsi data yang terkumpul berdasarkan jenis kelamin, status vaksinasi, asal daerah dan riwayat kasus gigitan.
Melakukan identifikasi kasus dengan melihat keadaan geografis wilayah, dan pola hidup penduduk sekitar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rabies terdapat dalam bentuk epizootik kota (anjing dan kucing) dan silvatik (liar). Sebagian besar di negara berkembang, di mana rabies kucing masih endemik, kasus gigitan positif pada manusia terjadi karena gigitan anjing (GeO,etc, 1995).
Kondisi geografis Kota Banjarbaru memiliki luas 371,3 km², dengan jumlah penduduk 247,137 orang ( data sensus 2015). Kepadatan 613 orang/ km² terdiri dari 5 kecamatan dan 20 kelurahan.
Kecamatan Liang Anggang :Kel. Landasan Ulin Barat, Landasan Ulin Selatan, Landasan Ulin Tengah, Landasan Ulin Utara; Kecamatan Landasan Ulin : Kel Landasan Ulin Timur, Guntung Manggis, Guntung Payung, Syamsudin Noor, Kecamatan Banjarbaru Utara : Kel. Loktabat Utara, Mentaos, Komet, Sungai Ulin,; Kecamatan Banjarbaru Selatan : Kel. Loktabat Selatan, Kemuning, Guntung Paikat, Sungai Besar; Kecamatan Cempaka : Kel. Cempaka, Sungai Tiung, Bangkal, Palam.
Kebanyakan lokasi kasus gigitan serangan HPR positif merupakan daerah pusat kota dengan mata pencaharian penduduknya pekerja kantoran
Mulai tahun 2013 Kota Banjarbaru semakin menata pembangunan, dari mulai perumahan sampai lingkungan perkantoran. Hal ini semakin menggeser wilayah Banjarbaru yang semula lebih banyak hutan dan perkebunan bukan rawa menjadi daerah pemukiman.
Habitat asli hewan-hewan liar yang beresiko menjadi HPR pun mulai tergeser dan tidak dapat terelakkan mereka pun sering berinteraksi dengan daerah pemukiman. Kemungkinan hal inilah yang menjadi pemicu munculnya kembali kasus gigitan HPR bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya pembangunan kota.
Sejak tahun 2013 sampai dengan 2018 terdapat 260 kasus gigitan HPR, dan 19 kasus selain gigitan (tabrak lari, pasien klinik, euthanasi, dan hewan terpapar Rabies), yang diperiksa dengan uji FAT di Bvet Banjarbaru, sehingga ada 279 kasus yang menjadi bahan survailanse untuk Rabies. Dari 279 kasus tersebut 189 kasus dapat diperiksa dengan tuntas melalui observasi 14 hari atau pengiriman sampel otak ke Bvet Banjarbaru. Dan didapatkan 14 sampel yang positif Rabies. Hal tersebut dikarenakan tidak semua kasus gigitan HPR hewannya bisa ditangkap atau diketemukan. Ditambah dengan kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahayanya gigitan HPR terhadap mereka. Berikut data positif Rabies dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data Rabies Kota Banjarbaru
Tgl Lokasi (Kelurahan) Positif
26 Jan ‘13 Landasan Ulin Utara 1 ekor kucing jantan berpemilik
8 Peb ‘14   LU Timur   1 ekor kucing jantan liar (gigitan)  
11 Ags’15     27 Okt ‘15 Sungai Ulin     Mentaos 1 ekor anjing jantan berpemilik (gigitan)   1 ekor kucing jantan liar (gigitan)
26 Jan ‘16   Komet   1 ekor kucing jantan liar (gigitan)
18 Jan ‘17           9 Okt ‘17 Mentaos           Komet 1 ekor anjing jantan berpemilik (gigitan)       1 ekor anjing jantan berpemilik (gigitan)
19 Mar’’18     25 Mar’’18       6 Apr’18       15 Apr’18         24 Apr ‘18       18 Mei ‘18       21 Juni ‘18 Sungai Ulin       Komet         Guntung Manggis     Guntung Manggis       Mentaos       Syamsudin Noor       Sungai Besar 1 ekor kucing jantan liar (gigitan)   1 ekor anjing betina berpemilik (Non gigitan)   Anjing jantan berpemilik (Non gigitan)   1 ekor anjing betina berpemilik (gigitan)   1 ekor anjing betina liar (gigitan)   1 ekor anjing betina liar (gigitan)   1 ekor anjing jantan berpemilik (Non gigitan)  
Tabel 2. Data Kasus Gigitan (KG) dan Kasus Bukan Gigitan (KBG) dengan sampel Otak yang dikirim ke Laboratorium BVet di Kota Banjarbaru
Tahun KG KBG
2013 42 0
2014 41 1
2015 22 2
2016 51 5
2017 57 4
2018 47 7
TOTAL 260 19
Jika dipersentasikan tentang kejadian kasus Rabies di Banjarbaru periode 2013 sampai dengan 2018, maka di dapatkan data dari 189 sampel kasus Rabies yang dapat diperiksa terdapat:
Anjing berpemilik dan liar 14,29% positif FAT (9 dari 63 kasus); anjing berpemilik 11,48% positif FAT (7 dari 61 kasus); anjing liar 100% positif FAT(2 dari 2);
Kera berpemilik dan liar tidak ada yang positif (27 sampel); kera berpemilik tidak ada yang positif (24 kasus), kera liar tidak ada yang positif (3 kasus);
Kucing berpemilik dan liar 5,15% positif FAT (5 dari 97 kasus); kucing berpemilik 1,67% positif FAT (1 dari 60 kasus); kucing liar 10,81% positif FAT (4 dari 37 kasus).
Hewan lain yang terduga Rabies berdasarkan gejala klinis bisa diperiksa sampai tuntas hanya hewan yang berpemilik yaitu 1 ekor sapi dan 1 ekor kambing, semuanya menunjukkan FAT negatif.
Total dari 189 sampel HPR, 14 ekor positif FAT (7,41%).
Tabel 3. Grafik Kasus GHPR dan Positif Rabies di Kota Banjarbaru Periode 2013 – 2018
Berdasarkan grafik di atas terjadi outbreak kasus Rabies tahun 2018 pada anjing meskipun kasus rabies ini juga ditemukan pada kucing hampir setiap tahun sejak 2013 (kecuali 2017). Hal ini dikarenakan masa inkubasi virus Rabies di anjing lebih cepat daripada masa inkubasi pada kucing, sehingga penularan di populasi anjing berlangsung lebih cepat daripada di populasi kucing .
Tingkat kejadian resiko penularan Rabies lebih tinggi pada hewan jantan daripada hewan betina karena pada hewan jantan banyak berkeliaran di luar rumah dan memungkinkan terjadinya perkelahian antar pejantan terutama pada musim kawin.
Meskipun kegiatan vaksinasi massal terus dilakukan, akan tetapi kasus Rabies terus terjadi tiap tahun. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan vaksinasi masih banyak hewan liar yang tidak bisa ditangkap untuk divaksin serta adanya kebiasaan masyarakat meliarkan hewan peliharaannya.
KESIMPULAN
  1. Kasus Rabies di Kota Banjarbaru yang terjadi pada tahun 2013 sampai 2018 selalu ada tiap tahun meskipun vaksinasi Rabies terus dilakukan karena faktor kebiasaan masyarakat yang masih melepas liarkan hewan peliharaannya.
  2. Perkembangan Kota Banjarbaru semakin mempersempit habitat HPR liar sehingga memperbesar interaksi dengan manusia.
  3. Status kepemilikan hewan mempengaruhi resiko HPR menderita rabies. pada anjing berpemilik yg diperiksa otak, 11,48% positif rabies, sedang pada anjing liar yang dipriksa otak karena menggigit, angkanya mencapai 100%. Pada kucing berpemilik yang diperiksa otak hanya 1,67% yang positif FAT.sedangkan pada kucing liar mencapai 10,81 %.
  4. Faktor jenis kelamin pada spesies tertentu juga memiliki pengaruh. Pada spesies kucing, 5 ekor kucing yg diperiksa positif, semuanya berjenis kelamin jantan. Sedangkan pada anjing dari 9 yang positif, 5 adalah jantan dan 4 adalah betina. Ini disebabkan karena behavior kucing sebagai hewan soliter dan teritorial, sehingga perkelahian antar kucing jantan menjadi penyebab penularan rabies di kalangan kucing. Sedangkan pada anjing yang merupakan spesies hewan sosial, potensi rabies menular pada hewan jantan dan betina cenderung sama.
SARAN
  1. Meningkatkan koordinasi antar instansi yang sudah berjalan dengan Dinas Kesehatan dan Dinas yang membidangi peternakan.
  2. Melakukan survailanse kasus Rabies pada spesies lain, seperti pada kucing pada wilayah terjadi kasus endemik atau outbreak Rabies.
  3. Dalam upaya pemberantasan kasus Rabies mengupayakan pengendalian populasi anjing dan kucing melalui cara sterilisasi baik berpemilik maupun tidak berpemilik.
 
DAFTAR PUSTAKA
  • 1991. Merck’s Veterinary Manual. 7th Ed. Merck’s Co. & Inc.
  • 2012. Pedoman Pengendalian dan Penanggulangan Rabies, Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
  • Dharmojono, 2001. Penyakit Menular dari Binatang ke Manusia. Millenium -Publisher Jakarta. Hlm
  • F. Brooks, MD, etc. 1995. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hlm
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Logo Inovasi

Recent Post